LAMPUNG, Mediabooater.news – Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mendadak menggelar Rapat Koordinasi (Rakor) Nasional secara virtual seiring dengan munculnya keresahan para pendidik mulia di Indonesia, pada Senin, 29 Agustus 2022.
Rakor dimulai pukul 14.00 WIB hingga pukul 16.10 WIB yang diikuti oleh seluruh PGRI se Indonesia secara virtial.
Mengenai hal tersebut Ketua APKS PGRI Lampung Maya Trisia Wardani, S.Si. MM yang juga merupakan Kepala SMP Negeri 38 Bandar Lampung menanggapi bahwa, keresahan ini dipicu, karena adanya perbedaan isi antara RUU Sisdiknas versi April 2022 dan RUU Sisdiknas versi Agustus 2022, yang secara signifikan akan berpengaruh besar pada kesejahteraan guru.
Perubahan tepatnya ada pada pasal 127, ayat (1), point (a) yang bertuliskan : Dalam menjalankan tugas keprofesionalan, Pendidik berhak : “Memperoleh gaji/upah, tunjangan, dan jaminan sosial”; berubah menjadi “Memperoleh penghasilan/pengupahan dan jaminan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
“Penghapusan kata-kata ‘tunjangan’ inilah, yang mengusik PGRI sebagai organisasi guru tertua untuk bergerak dan mencari solusi, dalam memperjuangkan hak dan kesejahteraan guru dan dosen di seluruh Indonesia,” katanya.
Selanjutnya, Pasal 127 itu adalah pasal untuk guru pra jabatan, sementara bagi guru yang sudah dalam jabatan, tertulis pula pada pasal 145 (RUU Sisdiknas versi Agustus 2022) yang menyatakan bahwa (1) setiap guru dan dosen yang telah menerima tunjangan profesi, tunjangan khusus, dan/atau tunjangan kehormatan yang diatur dalam UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan dosen sebelum Undang-Undang ini diundangkan, tetap menerima tunjangan tersebut sepanjang masih memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kalimat “sepanjang masih memenuhi persyaratan” dianggap melemahkan posisi guru dan dosen, karena indikator pencapaian pemenuhan persyaratan, akan sangat bias, bila hanya diukur dari sepihak penilai. Pembelajaran dan Pendidikan, memiliki arti lebih luas, bukan hanya pada yang tertera secara administratif. Karena memang profesi pendidik, sangat berbeda dengan profesi lain.
Profesi pendidik lebih melibatkan hati dan jiwa dalam melaksanakan tugasnya, karena memang yang dihadapi adalah tunas bangsa, yang kelak akan mewarisi peradaban negara ini.
Dari hasil Rakor yang dipimpin oleh Ketua Umum, Unifah Rosyidi, dan didampingi oleh unsur PB PGRI, banyak kesepakatan sikap, dan tuntutan yang akan diambil. Diantaranya adalah bahwa;
- RUU Sisdiknas agar ditunda, tidak masuk dalam prolegnas, karena tidak melibatkan publik secara luas, dan banyak substansi penting dalam bidang Pendidikan yang sebelumnya diatur, baik dalam UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, UU nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan UU nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang dijadikan referensi omnibuslaw dihilangkan.
- Pembahasan RUU Sisdiknas ini seharusnya masih membutuhkan kajian yang komprehensif, dialog terbuka dengan melibatkan banyak pemangku kepentingan Pendidikan termasuk organisasi profesi PGRI.
- Kembalikan bunyi pasal 127 ayat 1-10 sebagaimana tertulis dalam draft versi April 2022, yang memuat tentang pemberian tunjangan profesi guru dan dosen, tunjangan khusus, tunjangan kehormatan, dan lainnya. Karena itu, sertifikasi harus ada dalam norma dan batang tubuh RUU Sisdiknas, sebagai dasar untuk memberikan tunjangan profesi guru.
- Lalu sikap PGRI, yang akan dilakukan adalah, mengirim surat kepada Mendikbudristekdikti untuk mempertanyakan hilangnya pasal tersebut, lalu mengirim surat pula kepada komisi X tentang hal yang sama, mengajak serta perwakilan provinsi bila perlu kabupaten/kota pada audiensi dengan mendikbusristekdikti dan komisis X, serta tetap menjaga marwah kehormatan diri dan profesi serta memberikan layanan di kelas dengan sebaik-baiknya.
Sudah menjadi pemahaman bersama, bahwa pemberian tunjangan profesi merupakan suatu bentuk pengakuan dan penghargaan atas profesi guru dan dosen, yang selama ini dilakukan pemerintah. Guru dan dosen adalah profesi, yang dalam menjalankan tugas keprofesionalannya berhak mendapatkan kesejahteraan berupa penghasilan diatas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial.
Karena itu, jika terjadi perubahan dalam kebijakan, yaitu dengan pemberhentian tunjangan profesi tersebut, dapatlah diartikan bahwa, telah terjadi dekadensi tentang pengakuan keprofesionalan para pendidik.
Sementara peran guru sebagai figur sentral dalam penyelenggaraan Pendidikan, yang kehadirannya sangat diperlukan untuk memacu keberhasilan peserta didik, harus terus dilakoni oleh para pendidik, yang artinya ada atau tidak adanya tunjangan, maka guru harus tetap menjadi profesional, karena taruhannya adalah masa depan bangsa. Dan sudah menjadi hak bagi para pendidik untuk mendapatkan kesejahteraan karena keprofesionalannya tersebut.